Ingat waktu diaminin guru Bahasa
Indonesia SMP pas baca puisi? Waktu lagi simulasi ujian praktik Bahasa
Indonesia, tahun 2009. Itu lho, puisi yang ada kata-kata “teratai”-nya. Lupa
puisinya yang nulis siapa.
“Amiin…”
“Lhoh, Bu, kok amiin?”
“Kamu baca puisi apa berdoa to, Mbak?”
Tidak sedang ingin banyak-banyak
menceritakan, yang jelas sejak hari itu aku benci sekali dengan puisi. Benci
sekali.
Sampai suatu hari pas udah SMA
kelas satu ada tugas baca puisi, tugas kelompok. Aku masih dalam benci, tapi
terbesit juga kangen, dan lama-lama menjadi penasaran. Terbantu lebih dekat
dengan puisi lagi karena seorang teman bernama Rissa (sekarang di President University) terlihat anggun
dan memesona ketika membawakan puisinya. Rasanya aku mulai larut, entah larut
dalam penyampaian Rissa atau puisi itu sendiri. Intinya, sejak hari itu hatiku
sembuh. Aku rujuk dengan puisi.
SMA memang kelam untuk masalah
seni kesastraan. Aku terpenjara. Dua tahun kelasku
kudet kalau lagi ada acara baca puisi di alun-alun (setahuku acara baca puisi paling keren ya cuma itu). Sementara tahun ketiga cenderung nepotisme, guru Bahasa Indonesia lebih sering menunjuk siswa yang anak guru (anak temannya) buat baca puisi di depan kelas meskipun teman-teman udah nunjuk aku, dan aku udah sangat siap buat baca. Baiklah, SMA memang angker. Sangat bisa dipahami. Rasa-rasanya “prestasi” waktu SMA cuma ketika ulang tahun sekolah dan ada lomba musikalisasi puisi, nah aku bisa dibilang jadi “sutradara” sekaligus sebagai pembaca bareng keempat temanku, tapi penggarapan tetep bareng-bareng, cuma masalah pengonsep panggung dan ngarang puisinya aja yang aku urusi.
kudet kalau lagi ada acara baca puisi di alun-alun (setahuku acara baca puisi paling keren ya cuma itu). Sementara tahun ketiga cenderung nepotisme, guru Bahasa Indonesia lebih sering menunjuk siswa yang anak guru (anak temannya) buat baca puisi di depan kelas meskipun teman-teman udah nunjuk aku, dan aku udah sangat siap buat baca. Baiklah, SMA memang angker. Sangat bisa dipahami. Rasa-rasanya “prestasi” waktu SMA cuma ketika ulang tahun sekolah dan ada lomba musikalisasi puisi, nah aku bisa dibilang jadi “sutradara” sekaligus sebagai pembaca bareng keempat temanku, tapi penggarapan tetep bareng-bareng, cuma masalah pengonsep panggung dan ngarang puisinya aja yang aku urusi.
Cukup flashback-nya. Ada
sisa-sisa perasaan muak di dalamnya. Jijik dengan segala sistem yang mengarung.
Jijik, meski tidak cukup paham harus menujukan “kemaksimaljijikan” kepada
siapa.
Nah ini, ini. Masih terkait sama
tautan tentang “Taman Baru” dan “Sajak dan Segala Alayumgambrengnya”, hahahaa. Cekidotss.
Kamis (3/10) selesai kelas
ditanggap sama Berlin, “Ma, ntar sore kumpul HMJ ya.”
“Lhoh aku bukan HMJ.”
“Nggak tahu nurut aja, ditunjuk
kok, kayaknya ini lho buat ngisi bulan bahasa.”
“Hah? Aku disuruh ngapain?”
“Nggak tahu. Aku juga disuruh.”
“Yo wis. Ntar berangkat.”
“Kayaknya nampilin muspus Sang
Penari yang menang. Tapi, dari Sang Penari cuma kamu, Gita, Arif, Agil yang
disuruh dateng. Ah auk, ntar dateng aja. Paling kamu
suruh baca puisi.”
Dan benar kata Berlin, sore itu
memang kami dikumpulkan dengan kesimpulan yang sebenarnya cukup menggantung
karena namaku nggak disebut sama mas Fueb (2011, ketua HMJ) buat baca puisi,
tapi ditulis sama mbak Lilis (2011) sebagai pembaca puisi. Dan menyebalkannya
aku nggak niat memastikan ke mas Fueb. Baiklah, sore itu (Kamis, 3 Oktober)
menyisakan tanya dan keraguan.
Hari bermula lagi pada sebuah
Senin (7/10) senja damai buat kali pertama aku menggumam apa bedanya ikut sama nggak ikut teater. :3 Hari itu dengan mas
Idham dan beberapa kawan yang termasuk grup teatrikal tari, kami melakukan
simulasi latihan.
“Cukup buat sore ini. Tadi itu
baru simulasi latihan dan latihan yang sebenarnya akan membutuhkan lima kali
tenaga yang lebih ekstra. Jadi, jaga kesehatan.” mas Idham dengan gayanya yang cool dan ekspresif menyampaikan maksud
mengapa kami harus berjalan mondar-mandir sambil merasakan letak tumpuan tubuh
dan meresapi sekeliling.
Selasa (8/10) di sanggar Tesa
(Teater Sastra) teman-teman teatrikal dikumpulkan, pun teman-teman tari. Kalian
bertanya sesuatu? Ya, tinggallah dan tersisalah aku. Untung ada Firman (Humas
HMJ anak kelas B), aku merapat ke arahnya dan kami melihat proses latihan
teatrikal dan tari. Terlihat seperti wong
ucul yang nggak tahu harus apa, aku masih menyimpan baik sangka ah paling aku diprivat mas Idham. Tapi,
baik sangkaku sempat runtuh ketika tiba-tiba jam menyore dan mas Idham
mengabarkan, “Latihan hari ini cukup.”
APA, AKU, Aku gimana? Pelan-pelan aku beranikan diri bertanya pada
mas Idham, “Mas, mas Idham. Puisine pie?”
(Mas, mas Idham. Bagaimana dengan puisiku?)
“Ohiya puisi. Lha kowe wis gawe rung?” (Oh iya puisi. Lha kamu
sudah membuat belum?)
“Ora ii, Mas. Ra dikon og.” (Tidak. Tidak diminta membuat kok)
“Iki puisine, dihayati, diresapi.” (Ini puisinya, dihayati,
diresapi)
Kiaaakiaaaa… mas Idham :3
Begitu dapat puisi yang ternyata
garapannya mas Bintang (2011) dengan judul “Tanahairanumia” langsung sambar dan berniat berguru pada mas Bagus (abangku),
tapi baru bisa terealisasi Selasa (15/10). Sementara Kamisnya (10/10) di sekre
Tesa gagal lagi latihan, dan yang lebih penting adalah sesuatu menjelas
sekaligus menciptakan kecemasan.
Kamis itu di
sekre ada mas Fueb, mbak Indah, anak Tesa, Dita, Aku, Mulia, mas Topik (yang
lagi mburuh buat bikin panggung ulang tahun Tesa).
“Mas, puisine latian ra to?” (Mas,
puisinya latihan tidak ya?) aku ke mas Fueb.
“Oh kowe melu cah-cah musikalisasi puisi
lho. Puisi ora latihan sek.” (Oh kamu ikut latihan anak-anak yang
musikalisasi puisi. Puisi tidak latihan dulu saja)
“Neknu ajari aku.” (Kalau begitu ajari
saya membaca puisi)
“Ajar dewelah.” (Belajar sendirilah)
Nah itu,
menjelas, mengapa aku terlantar di grup teatrikal tari, ternyata. Padahal mas
Fueb sendiri yang memintaku bergabung sama anak-anak teatrikal tari. Ternyata.
Mas Topik yang
telanjang dada jalan mendekat ke aku, sontak merebut puisi yang tengah kurapal,
“Iki to puisine?” (Ini ya puisinya?)
entah dengan siapa manusia itu bertanya, mukanya sinis sekali.
“Iyo, Mas. Ajari aku ndang, Mas.” (Iya,
Mas. Aku minta diajari)
mas Fueb tiba-tiba
menyahut, “Iyo, Pik. Lha koe pie?”
(Iya, Pik. Kamu bagaimana?)
“Yo wis no, wis ana sing maca og.” (Ya
sudah. Orang sudah ada yang membaca)
Dhegg. Ada sesuatu yang memukul keras
namun lambat. Cemas. Mas Topik expert-nya
yang baca puisi. Lalu aku?
Akhirnya mas
Topik membaca sebait puisi dan mau menjelaskan masalah teknik, “Kapan-kapan weh, lagi akeh gawean.”
(Kapan-kapan lagi ya, sedang banyak pekerjaan).
Siang menuju
sore itu berakhir pada sebait puisi. Sedangkan hari berlanjut menuju malam,
tepatnya Selasa malam diprivat puisi sama mas Bagus, satu manusia yang selalu
mengatakan bahwa aku buruk sekali dalam membaca puisi. Tapi, dalam hati aku
coba keluarkan semampuku dan dia bilang, “Wis
apik.” (Sudah bagus). Malam itu sedikit menghapus cemas yang disebabkan mas
Topik (iya, aku cukup mikir kalau ternyata aku buruk sekali dalam membaca dan
mas Topik yang akhirnya membaca :3). Tapi, malam itu, aku yakin.
Sepekan vakum
latihan?? Hebat!!
bersambung...
Chani :)
BalasHapusKalau sempet mampir blog baruku ya :)
kemudianlalu.blogspot.com
Makasih, neng :D
Lama bgt gak liat blog ternyata ada chani :* iyaaa mampiir
Hapus