Kartini itu
Konsep
“Sabtu, 21 April 2012,
semua siswa dan guru wajib mengenakan pakaian adat.” Suara
yang berasal dari loudspeaker itu menggema di ruangan kelas XI IPA 7.
Bulan
April adalah bulan yang ditunggu para kaum hawa. Bulannya pahlawan wanita.
Siapa lagi kalau bukan Ibu Kartini. Tapi, tidak bagi satu anak ini, Indah
namanya. Siang itu sepulang sekolah, di teras kelas Indah diam menatap kosong
ke depan.
Okta : (Menepuk bahu Indah dari samping) “Ndah..
Ati-ati kesambet.”
Indah : (Terlonjak kaget) “Okta.. Ngagetin aja.”
Okta : “Ngelamunin apa, Ndah?”
Indah : (Berdecak) “Gila ya, kenapa juga besok
harus pakai kebaya.”
Okta : “Lhoh.. Kok kamu gitu, Ndah. Ya bagus
dong. Itu artinya kita memperingati Ibu Kartini.”
Indah : “Lebay tahu.” (memanyunkan bibir)
Indah melipat mukanya. Dia sungguh
tidak sependapat dengan peringatan Kartini yang diadakan sekolahnya setiap tahun.
Di tengah perbincangan Indah dan Okta, tiba-tiba Agus datang dengan muka masam.
Okta : “Indah.. Indah” (geleng-geleng) Menyadari
kedatangan Agus, Okta menoleh. “Gus, mukamu kamu buang kemana?”
Agus : “Aishh.. Besok nggak usah berangkat
ajalah. Males banget. Ngapain juga harus pakai baju adat. Udah anak kos. Harus
nyari baju begituan. Ahh males.”
Indah : “Setuju, Gus. Kalau Kartini diartikan
dengan pakaian adat kayak gini, Kartini itu berarti cuma sebatas simbolik saja
kan ya.”