Senin, 14 Mei 2012

Prosa Senja


Rabu, 21 Desember 2011
17.22 pm


Kau dengar bisik angin dan gemericik anak sungai? Atau sahut-sahutan katak yang memadu? Coba teliti nyanyian jangkrik. Dengar dan rasakan belai lembut sang bayu.
Tepat di depanku, lima gerbong kereta dipimpin lokomotifnya menderu. Lagi, dari arah berlawanan 12 gerbong dan lokomotif kereta menyapaku. Awan putih itu menyelaputi dua gunung abadi, Merapi dan Merbabu. Merangkak pelan ke arah utara menghilang dari lineria mentari yang hendak raib ke dalam bumi.
Suasana klasik ini terlalu jarang kutemui. Bagaimana mungkin ketika rutinitas kembali seperti semula, semua ini bisa kudapati lagi? Yang ada hanyalah suara bising motor dan asap nakal, atau bersautannya klakson bus dengan mobil yang menemani di setiap aku pulang dan hari sudah terlalu petang. Omelan kakakku sajalah yang bisa kudengar. Hilang suara jangkrik, hilang suara senja.

Terpantul jelas sang mentari di ambang sawah yang belum disemai. Senja ini terasa begitu dekat. Dekat dengan Sang Pemillik Senja. Dekat dengan diriku sendiri.
Teliti dengan seksama senja ini.. Barangkali dua tahun lagi aku tak bisa menghirup oksigen di kota lahirku ini. Barangkali udara yang berbeda, udara dengan empat musim dan segala ciri khasnya menjadi hal biasa yang aku temui. Tanah yang katanya tanah para Dewa, negeri yang katanya Negeri Sakura, atau Negeri Matahari Terbit. Tanah yang sedari dulu ingin kulewati..
Tuhan, kita berdua sekarang. Tuhan, Kau dengar bisik di relung hati ini. Tuhan, Kau dengar ia menyapaMu lembut. Tuhan Kau lihat aku. Bersyukur sekali menikmati senja di pinggir rel kereta dan hamparan tanah hijau, menyapaMu, memujiMu...Senja Ini Begitu Dekat 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar