Jumat, 20 April 2012

Kartini itu Konsep
 Imamah Fikriyati Azizah

“Sabtu, 21 April 2012, semua siswa dan guru wajib mengenakan pakaian adat.” Suara yang berasal dari loudspeaker itu menggema di ruangan kelas XI IPA 7.
Bulan April adalah bulan yang ditunggu para kaum hawa. Bulannya pahlawan wanita. Siapa lagi kalau bukan Ibu Kartini. Tapi, tidak bagi satu anak ini, Indah namanya. Siang itu sepulang sekolah, di teras kelas Indah diam menatap kosong ke depan.
Okta    : (Menepuk bahu Indah dari samping) “Ndah.. Ati-ati kesambet.”
Indah   : (Terlonjak kaget) “Okta.. Ngagetin aja.”
Okta    : “Ngelamunin apa, Ndah?”
Indah   : (Berdecak) “Gila ya, kenapa juga besok harus pakai kebaya.”
Okta    : “Lhoh.. Kok kamu gitu, Ndah. Ya bagus dong. Itu artinya kita memperingati Ibu Kartini.”
Indah   : “Lebay tahu.” (memanyunkan bibir)
            Indah melipat mukanya. Dia sungguh tidak sependapat dengan peringatan Kartini yang diadakan sekolahnya setiap tahun. Di tengah perbincangan Indah dan Okta, tiba-tiba Agus datang dengan muka masam.
Okta    : “Indah.. Indah” (geleng-geleng) Menyadari kedatangan Agus, Okta menoleh. “Gus, mukamu kamu buang kemana?”
Agus    : “Aishh.. Besok nggak usah berangkat ajalah. Males banget. Ngapain juga harus pakai baju adat. Udah anak kos. Harus nyari baju begituan. Ahh males.”
Indah   : “Setuju, Gus. Kalau Kartini diartikan dengan pakaian adat kayak gini, Kartini itu berarti cuma sebatas simbolik saja kan ya.”

Okta    : “Kalian ini kenapa sih? Kompak banget..”
Indah   : “Bukannya gitu, Ta. Coba dulu Kartini kalau berpakaian itu pakai busana muslim, pakai jilbab, pakai cadar. Apa kita memperingatinya juga kayak gitu? Atau, coba kalau dulu Kartini pakaiannya baju you can see, rok mini, atau celana  jeans yang sobek di bagian lutut, pakai kacamata hitam, apa kita juga pakai baju kayak gitu buat memperingati?”
Agus    : “Ini lagi. Kartini kan cewek ya. Kenapa yang cowok disuruh pakai baju adat juga. Heran”
Okta    : “Aduh.. Kalian ini kenapa sih?”
            Okta pusing menanggapi komentar Indah dan Agus. Hanya dia yang pro dengan acara tahunan sekolahnya. Tidak jauh dari mereka duduk, ibu Sasya guru Bahasa Indonesia berjalan ke arah mereka.
Okta    : “Udah ah. Aku mau pulang. Pusing di sini. Yang jelas, besok kalian harus berangkat. Titik. Jangan sampai kelas kita kehilangan dua orang waktu mengambil foto.” Kata Okta sambil berdiri.
Agus    : “Aku mau tidur besok.”
Indah   : “Aku mau nyelesein laporan karya ilmiah di rumah besok.”
Okta    : “Ya Tuhan. Awas aja ya kalian.”
Ibu       : “Lagi bertengkar? Kenapa belum pulang?”
Indah   : “Bu.. Sebenarnya Kartini itu siapa sih, Bu?”
Ibu       : “Pertanyaan macam apa itu, Indah?’
Indah   : “Saya cuma kasihan sama Kartini, Bu. Perjuangannya selama ini cuma dinilai sebatas baju kebaya saja.”
Agus    : “Sebagai kaum lelaki, saya juga kasihan, Bu. Mungkin saja Kartini di alam barzah sedang mencari-cari kesalahan apa yang pernah ia lakukan sampai-sampai para penerusnya mengingatnya dengan selembar kain kebaya saja. Padahal Kartini sendiri kan tidak pernah meminta untuk diperingati dengan pakaian macam begitu.”
Ibu       : “Tunggu-tunggu. Kalian ini kenapa?”
Okta    : “Tahu tuh, Bu. Saya pusing dari tadi mendengarkan mereka berdua mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah.”
Indah   : “Bukan masalah bagaimana? Perayaan besok itu cuma perayaan seremonial saja. Nilai-nilai Kartini lalu mau dibawa kemana?”
Agus    : “Dan lebih menyusahkan karena harus mencari baju pinjaman, kalau nggak ada pinjaman harus cari sewa. Kalau cari sewa ngeluarin duit. Ahh Kartini mahal.”
Ibu       : “Hahaa..”
Indah   : “Lhoh, Bu? Kok malah ketawa?”
Agus    : “Bu guru kenapa? Ada yang lucu ya, Bu?”
Okta    : “Iya, Bu.. Mereka semua dari tadi kan menyebalkan, Bu.. Kenapa malah tertawa?”
Indah   : “Apa perkataan kami ada yang salah, Bu?”
Ibu       : “Hahaa.. Tidak. Ibu cuma nggak nyangka kalian bisa bicara seperti itu. Kelihatannya dewasa sekali.”
Okta    : “Dewasa darimana, Bu? Mereka itu dari tadi menghina Ibu Kartini.”
Indah   : “Apa nggak kebalik, Ta?”
Okta    : “Kebalik apanya?”
Indah   : “Sudah kubilang kan tadi. Kalian itu hanya menilai Ibu Kartini semurah baju adat. Padahal cita-cita Kartini itu mahal, tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apapun.”
Okta    : “Kenapa jadi menuduhku seperti itu?”
Indah   : “Bukan menuduh, Okta. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya terjadi kok.”
Agus    : “Ini kenapa kalian yang jadi ribut?”
Okta    : “Tahu nih”
Ibu       : “Ahahaa..” Ibu guru tertawa lagi. “Kalian ini lucu sekali yaa ternyata. Ibu baru sadar, padahal sudah dua tahun mengajar kalian.”
Agus    : “Bu guru yang lucu, Bu. Tegang gini dibilang lucu. Aneh-aneh saja Bu guru ini.”
Ibu       : “Hahaa.. Daripada Ibu ikut pusing mendengarkan kalian di sini, lebih baik Ibu pamit pulang duluan yaa.. Assalamualaikum, Anak-anak pintar!”
            Ibu guru Sasya berlalu seolah pasrah dan tidak mau tahu lagi.
Indah   : “Yah yah, Bu. Kan masih banyak hal yang perlu saya katakana.”
Agus    : “Ah Bu guru, saya kan mau minta tolong dibantuin mencari pinjaman beskap, Bu.”
Okta    : “Daripada tambah pusing, aku pulang ajalah. Dah..” (Bernada sebal)
            Tinggal Indah dan Agus saja di teras kelas XI IPA 7 itu. Dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang bersama sampai gerbang depan sekolah.
            Agus sampai di kos yang tidak jauh dari sekolah. Ia meletakkan barang bawaannya.
Agus    : “Cari dimana ya? Ah sms temen-temen dulu ajalah.” (mengeluarkan hp) “Kalau nggak usaha nyari dari rumah ke rumah bakalan sulit ni. Mending sambil nunggu balesan, aku keluar ajalah. Siapa tahu ketemu temen yang punya baju beskap.”
            Agus berjalan keluar sendirian. Dan beruntung sekali karena di jalan ia bertemu Ustad Bima guru spiritualnya.
Ustad  : “Assalamualaikum, Agus!”
Agus    : “Ustad, Waalaikumsalam. Mau kemana, Ustad?”
Ustad  : “Sedang ingin keluar rumah saja, Gus. Dan sepertinya di lauhil mahfudz sudah digariskan bahwa kita akan bertemu di detik dan tempat ini, Gus. Mau kemana kamu, Nak?”
Agus    : “Hehee.. Iya, Ustad. Wah sepertinya saya beruntung sekali ini, Ustad.”
Ustad  : “Kata Bang Thomas Alfa Edison, beruntung itu adalah bertemunya antara kesiapan dan kesempatan. Ada apa, Nak? Katakan saja.”
Agus    : “Begini, Ustad. Besok kan tanggal 21…..”
Ustad  : “Aaa.. Hari Kartini ya”
Agus    : “Benar, Tad. Sekolah ada peringatan hari Kartini. Dan semua siswa diminta mengenakan baju adat jawa.”
Ustad  : “Terus kenapa, Gus?”
Agus    : “Masalahnya saya tidak punya, Tad.”
Ustad  : “Ohh.. Bilang saja mau cari pinjaman. Hahaa. Duduk di sini dulu, Gus.” (Mereka berdua duduk di bangku tepi trotoar)
Agus    : “Hehee.. Ustad punya?”
Ustad  : “Umm.. Sayangnya tidak, Gus.”
Agus    : “Yaahh”
Ustad  : “Sudah minta bantuan Allah belum kamu? Hehee..”
Agus    : “Hehee.. Belum, Ustad”
Ustad  : (Tersenyum) “Tenang dulu, Gus. Coba saya tanyakan sama keponakan saya, dia seumuran dengan kamu, dan sepertinya ukurannya juga sama. Dulu waktu adik saya menikah, dia memakai baju beskap, dan sepertinya itu bajunya sendiri.”
Agus    : “Wah, Ustad. Terimakasih, Ustad.”
Ustad  : “Terimakasih sama Allah saja. Hehee”
Agus    : “Alhamdulillah, terimakasih ya Allah.”
Ustad  : “Sudah lega?”
Agus    : “Eh tunggu, Ustad. Apa bajunya tidak dipakai keponakan Ustad?”
Ustad  : “Di sekolahannya peringatan Kartini dengan sangat sederhana. Sepertinya persepsi mereka bahwa Kartini itu sosok yang sederhana, tidak perlu dineko-neko seperti kebanyakan yang terjadi. Yang penting itu pemikirannya, bukan pakaiannya.”
Agus    : “Wah enak sekali, Ustad. Tapi apa tidak ada peringatan sama sekali?”
Ustad  : “Yaa.. Mereka mengadakan perlombaan-perlombaan yang positif juga, hanya saja tidak menyimbolkan peringatan itu dengan pakaian.”
Agus    : “Hebat ya..”
Ustad  : “Ah biasa saja, Gus.”
Agus    : “Tapi makna emansipasi itu sendiri sebenarnya bagaimana sih, Ustad?”
Ustad  : “Kita kembali ke kedudukan seorang wanita dulu saja, Gus. Di Al-qur’an sudah dijelaskan kalau kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Sebentar saya bukakan dulu. (Ustad Bima membuka hapenya) Ah ini dia. Surat An-Nisa’ ayat 34, bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”
Agus    : “Saya bingung, Tad”
Ustad  : “Singkatnya, bahwa laki-laki itu ditakdirkan untuk memimpin kaum perempuan. Banyak orang salah mengartikan makna emansipasi. Mereka kira emansipasi itu, wanita berhak berkuasa di atas lelaki, atau wanita juga bisa menjajah kaum adam. Ah itu bukan makna emansipasi yang Ibu Kartini mau.”
Agus    : “Lalu apa, Tad?”
Ustad  : “Jaman dahulu, perempuan hanya bisa melakukan tiga hal, yaitu masak, macak, dan manak, jangan bilang kamu nggak tahu maksudnya, Gus. Masak, macak, dan manak itu perlu, namun oleh Kartini Sang pejuang emansipasi, ketiga hal tersebut tidak bisa menjadi hukum pakem bagi wanita. Wanita juga berhak atas pendidikan, karena kelak pendidikan itu juga untuk mendidik anak-anak mereka. Wanita juga bisa bekerja, apalagi kalau penghasilan suaminya tidak bisa mencukupi kebutuhan, jangan salahkan kalau perempuan bekerja. Begitu maksudnya, Gus.”
Agus    : “Ooh.. Begitu, Tad. Mulia sekali ya. Tapi dengan adanya wanita setangguh Kartini, kenapa banyak ibu yang jahat pada anaknya ya, Tad?”
Ustad  : “Ah itu karena mereka belum mengerti dan belum mendapat hidayah dari Allah saja, Gus. Tapi sebenarnya emansipan itu bukan cuma Kartini saja lho, Gus. Jauh sebelum Kartini ada perempuan bernama Siti Khadijah, Aisyah, dan lain-lain yang juga pahlawan wanita. Pada intinya, emansipasi selain berarti perjuangan pembebasan dari jajahan kaum pria juga memiliki arti bahwa wanita itu berhak atas hal apapun yang benar untuk dilakukan.”
Agus    : “Ahh.. Kalau saja Kartini dulu memakai jilbab ya, Ustad. Saya hanya sedang berpikir, mungkin saja sekolah mewajibkan para siswinya untuk mengenakan baju adat dengan tutup kepala, bukan sanggul yang kebesaran. Hahaa..”
Ustad  : “Wah kamu ini, Gus. Malah melawak. Tapi bagus juga imajinasimu itu, Gus.”
Agus    : “Saya jadi ingin bertemu Kartini, Ustad. Hhee.”
Ustad  : “Aneh-aneh saja kamu ini. Sudah, kita ke rumah keponakan Ustad saja.”
Agus    : “Baik, Ustad.”
            Setelah berbincang panjang lebar, mereka bergegas ke rumah keponakan ustad Bima guna meminjam baju adat.
            Agus mendapatkan pinjaman baju adat. Dan hari cepat sekali berganti. Sabtu pagi itu, Indah kerepotan dengan kebayanya. Okta tersenyum bangga mengenakan baju yang ia anggap baju favorit Raden Ajeng Kartini itu. Agus datang dengan baju beskapnya yang tidak kebesaran tidak juga kekecilan. Sementara ibu guru Sasya tampak anggun dengan kebaya yang cocok sekali dengan warna kulitnya.
            Hari ini, sekolah memperingati hari Kartini. Diawali dengan upacara kemudian perlombaan-perlombaan yang anak-anak OSIS adakan. Semuanya terlihat menikmati acara peringatan ini tanpa mencari tahu apa sebenarnya makna peringatan Kartini itu sendiri. Kecuali Indah tentunya.
Agus    : “Kamu masih meracau soal peringatan ini, Ndah?”
Indah   : “Ahh.. Biar sajalah. Sekali-sekali aku memakai kebaya ini. Biar jalanku terlihat feminim. Hahaa..”
Agus    : “Ah.. Kamu tidak akan pernah menjadi perempuan ideal hanya dengan memakai kebaya dan jarik yang sempit itu, Ndah. Hahaa..”
Indah   : “Kamu benar. Hahaa.. Kartini itu kan konsep, bukan kostum yang menjadikan seseorang menjadi seperti Kartini, tapi cita-citanya.”
            Indah dan Agus tertawa. Tidak tahu apa yang sedang ditertawakan. Hanya saja, mereka ingin menertawai diri mereka sendiri.
Sekolah dan hidup pun berjalan seperti biasanya selepas peringatan Kartini. Benar kata Indah. Kartini itu konsep, bukan sosok yang disimbolkan dengan acara seremonial berpakaian seragam adat seperti ini. Percuma saja meniru gaya Kartini jika pikiran kita kosong. Percuma saja merias wajah, menautkan sanggul, mengoleskan gincu kalau kita tidak bisa menjadi wanita yang sebenar-benarnya wanita, kalau kita tidak bisa meneruskan cita-cita dan keinginan seorang Kartini Sang Pejuang Emansipasi. Kasihan Kartini, semoga kita yang ada di sini adalah orang-orang yang benar, orang-orang yang mengikuti jalan kebenaran demi masa depan para wanita, demi masa depan Indonesia, dan demi diri kita sendiri. Merdeka!!



Ahahaa.. Sebenarnya itu tugas Basindo yang sengaja saya buat untuk diperankan kelompok saya. Tapi, saya ingin berbagi sama blogist semua. Berbagi untuk setia mengajak, bahwa Kartini butuh kita untuk melanjutkan cita-citanya dalam mensejahterakan para wanita dan dalam memajukan negara Indonesia. Kyaaaa (tepuk tangan)

2 komentar:

  1. cuma mau bilang : betul, betul, betul :))))
    salam kenal ya.
    di tunggu follbeknya.

    BalasHapus
  2. salam kenal juga :)
    semangat :)

    BalasHapus