Minggu, 21 April 2013

Pengakuan

Begini nasib otak pas-pas-an. Sebenarnya tidak juga, hanya salah jalan dan cenderung memaksakan. Awalnya memang ada sedikit niat untuk menjalani, tapi lama-lama kok jadi rodi. Kepala tiap hari migrain, dimana-mana  ada rambut rontok, mata rasanya ingin keluar, bertambah hari badan semakin mengurus saja. Parah.
Kalau saja dulu Puput lebih mengikuti kata hati, pasti semua tidak akan seperti ini. Kalau saja dia tidak menempatkan Sarah sebagai rival abadinya, tentu saja ia tak perlu repot-repot masuk kelas IPA hanya agar tidak dikira kalah saing. Ah tapi apalah gunanya membicarakan yang sudah-sudah. Tidak menyelesaikan masalah, hanya akan membubuhkan tanda tanya-tanda tanya di kepala yang tidak pernah ketemu jawabannya.
UAN,
Ujian Akhir Nasional terhitung sebentar lagi. Hampir dua tahun Puput menjadi tikus di kelas. Ia selesaikan dua tahunnya dengan niat yang tak pernah bulat. Ia ikut les ke sana ke mari, pergi ke rumah guru untuk tambahan jam, tapi hasilnya, ia tetaplah tikus di kelasnya.
Sebenarnya ia paham materi-materi yang diajarkan, tetapi setiap berhadapan dengan soal, tangannya bergetar bukan main, keluar keringat dingin, perutnya mules, pingin poop, nafasnya terengah-engah, matanya seperti sudah copot dan pandangannya menggelap, rasanya dunia adalah neraka setiap ia berhadapan dengan soal. Kalau sudah seperti itu, beruntung dia masih bisa mengingat nasihat guru agamanya, beliau bilang Tuhan itu tidak tuli, Ia bisa mengabulkan semua permintaan orang-orang yang berdoa. Lalu, berdoalah Puput dengan tangan yang masih gemetaran, bahkan berdoa pun hatinya tetap belum bisa tenang.
Tahun pertama ketika ia duduk di kelas dua SMA, nilainya jauh dari segala bentuk usahanya. Peringkatnya sih nomor dua, tapi dari bawah, dari 28 siswa. Bapaknya memang demokratis. Ibunya, iya juga sih, tapi suka rewel. Mereka lebih menghargai usaha dan kemajuan Puput. Tapi di depan Sarah, buku-buku yang biasa jadi bantal tidur ketika kecapekan belajar sudah beralih fungsi menjadi penutup muka.
Di tahun keduanya ia mulai berhati-hati, mencoba menjalani dengan hati, tapi tetap saja terlalu dipaksakan. Sampai suatu ketika, ibu dan bapaknya mengajak ia bicara.
Wuk, Bapak ndak pernah marah karena nilai-nilaimu. Buat Bapak, kamu mengerjakan dengan jujur saja itu yang paling memuaskan—“
“Kalau Ibu, asal lihat kamu belajar sungguh-sungguh, bangun tengah malam, dan melihat kamu ada progress, ibu sudah senang.”
“Kamu kan sebentar lagi mau kuliah, ya biar Bapak sama ibumu yang minta sama Gusti Allah itu doanya lebih terarah, kamu mau melanjutkan kuliah kemana, dan mengambil jurusan apa?”
“Harus dijawab sekarang to?”
“…”
“Saya—“
“Jangan bilang kamu belum punya gambaran, Wuk. Walah.. Lha kepriye.” sela ibu.
“Anu..”
“Apa mau jadi bidan? Atau ambil farmasi? Apa mau kayak mbak Sarah ambil statistik? Ibunya bilang Sarah pingin jadi dokter, tapi katanya ndak berani nilainya. Kamu ndak usah jadi dokter saja ya. Ibu pikir selain ndak berani nilainya, juga ndak berani duitnya.”
“Bu.. ndak usah bawa-bawa nama Sarah. Saya kan belum menjawab, lha kok ibu sudah mirip rel sepur gitu.”
Selalu saja seperti itu. Dulu Puput bisa memutuskan untuk masuk ke kelas IPA juga karena ibunya terus membicarakan Sarah yang notabene selalu mendapat juara satu di kelasnya, kelas IPA. Sedari kecil ibunya selalu membandingkan Puput dengan Sarah, sedikit-sedikit Sarah, nilainya mbak Sarah itu lho, peringkatnya mbak Sarah itu lho, anu-nya mbak Sarah itu lho, itu-nya mbak Sarah itu lho. Parah.
“Saya mau ke sastra.”
“Sas?” tanya ibu meyakinkan kalau tidak salah dengar.
“Sastra!” pertegas Puput sementara bapaknya hanya diam.
“Kamu ndak lagi panas to, Wuk?”
“Bapak sama Ibu kan tahu dari kecil saya suka menulis. Apa ada yang aneh dengan jawaban saya?”
“Umm ndak, ndak aneh. Tapi dua tahun ini kamu kan jadi anak IPA.” ibu membalas.
“Apa salah?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Apa sudah bulat?”
“Ya.”
“Tidak mau dipertimbangkan lagi? Ikut ke kedinasan, atau kalau pingin ke kedokteran juga ndak pa-pa, nanti soal biaya gampang. Tapi di farmasi juga oke lho, atau statistik kayak mbak Sar—”
“Final.”
“Mau jadi apa nanti?”
“Penulis.”
“Penulis?”
“Iya.”
“Nulis apa?”
“Apa saja.”
“Yakin?”
“Seratus persen.”
“Kita lagi ngomongin masa depan lhoh.”
“Saya ndak lagi bicara tentang masa lalu.”
“Kamu kok sinis?”
“Saya capek.”
“Kenapa? Oh mungkin kamu capek karena terlalu memikirkan masa depanmu, gimana caranya jadi penulis. Iya, kan?”
“Saya capek mikirin masa lalu.”
“Yang dipikir masa sekarang saja.”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Ya pokoknya tidak bisa.”
“Ya harus bisa.”
“Pak, Bu.. sudah ada kalimat buat proposal yang mau diajukan sama Allah untuk masa depan saya, kan? Yang paling penting doakan saya tidak edan saja.”
“Kok ngomongnya gitu?”
“Lha saya sudah stres selama ini.”
“Maksud kamu?”
“Iya, masa lalu saya sampai hari ini membuat saya stres.”
“Ibu ndak paham.”
“Saya ndak suka dibandingkan.”
“Dibandingkan?”
“Ibu dan bapak kan selalu mengajari saya berlomba-lomba dalam kebaikan. Nah, saya ndak suka kalah dari mbak Sarah. Saya rela kalah dari siapa saja, kalau waktunya kalah ya saya kalah. Tapi, tidak untuk Sarah, karena setahu saya, Ibu selalu membandingkan saya dengan dia.”
“Ibu?”
“Saya masuk IPA kan karena Ibu rewel. Satu tahun lalu saya belum bisa mikir realistis. Pelan-pelan saya kubur mimpi jadi penulis, saya jabat buku-buku Matematika, Fisika, Kimia, Biologi. Tanpa saya sadari ternyata saya sudah menjadi pembenci, saya tidak benci sama siapa pun kecuali satu orang saja, mbak Sarah.”
“Ibu ndak punya maksud seperti itu.”
“Iya, Ibu ndak ada maksud. Tapi pelan-pelan itu semua membentuk saya menjadi pembenci. Dan bukan cuma saya yang menjadi pembenci, tapi mbak Sarah juga benci dengan saya.”
“Darimana kamu tahu?”
“Sarah ngomong sendiri sama saya. Dia bilang ibunya membandingkan dia dengan saya. Sebenarnya saya dengan Sarah itu sama. Dijajah oleh ibu sendiri.”
“Masyaallah—“
“Bu, mbak Sarah itu dulu teman baik saya. Mulai SMP saya merasa Ibu semakin menjadi-jadi yang membandingkan, membuat saya terganggu dan merubah diri saya.”
Bapaknya tutup mulut. Ibunya mulai menangis sehingga membuat Puput merasa bersalah, tapi ia puas. Tidak pernah ia selega ini, mengutarakan perasaan yang ia bawa ke mana-mana sedari kecil hingga sebesar ini. Perasaan benci yang membentuknya, membuatnya salah arah dan tumbuh menjadi anak yang malang.
“Bu, saya mau menjadi penulis, itu mimpi saya. Yang lalu biarlah menjadi masa lalu. Tidak ada yang saya sesali, sekarang tugas saya mempertanggungjawabkan apa yang telah saya pilih lalu fokus di dalamnya. Sekarang saya mulai tahu kenapa saya tidak pernah mendapat yang terbaik padahal usaha saya sudah mati-matian, doa saya apalagi. Sekarang saya tahu, Bu. Alasannya sederhana, karena ini semua bukan untuk diri saya, bukan untuk kebaikan, tapi untuk Sarah. Kalau saya sedang meratap sama Allah, yang saya bayangkan cuma wajah Sarah. Kelihatannya saja saya sibuk dengan buku-buku, padahal setiap melihat buku saya ingat wajahnya dan siap menonjoknya, itu semua membuat saya tidak fokus.
“Saya tidak mau sampai saya mati membenci Sarah. Saya tidak mau hidup seperti ini. Saya tidak mau ibu menjadi alasan kenapa saya membenci Sarah. Saya sayang sama ibu, tapi kalau ibu tidak bisa berubah bahkan sampai saya bisa melampaui Sarah pun, ibu akan tetap membandingkan. Saya sayang sama ibu. Saya tidak benci, tapi saya sakit hati.”
Tangisan ibu semakin menjadi, Puput mendekat dan memeluknya, ia mulai berbisik, “Puput minta maaf.”

Ceper, Selasa, 26 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar